"NGEJO TEU NGAJI SASAR, NGAJI TEU NGEJO LAPAR"

 


Pada hari Senin, 14 Agustus 2023 merupakan awal mula lahirnya inspirasi coretan sederhana ini. Waktu itu penulis sedang mengendarai  motor dalam perjalanan menuju Cianjur, tiba-tiba disalip sebuah truk yang berkecepatan sedang.  Awalnya biasa-biasa saja tak ada sesuatu yang asing atau menarik, namun ketika pandangan melirik kearah pojok kanan pintu belakang bak truk, penulis terperangah dengan tulisan berikut :

Ngaji jeng Ngejo Kudu Saimbang
Ngejo Maraban AWAK
Ngaji Maraban AKHLAK
Ngejo Teu Ngaji SASAR
Ngaji Teu Ngejo LAPAR
Teu Ngaji Teu Ngejo MODAR

Sesaat setelah membaca tulisan tersebut, penulis senyum sendiri sambil berkata dalam hati "wah menarik juga tulisan ini, simpel penuh makna" kemudian terus mencoba mengikuti truk tersebut sambil mengingat dan menyimpan tulisan tersebut dalam memori penulis, sampai truk tersebut melaju dengan kecepatan tinggi dan hilang dari pandangan penulis. 

Pada postingan kali ini, penulis mencoba mengurai makna yang terkandung dalam pernyataan tersebut. 

"NGAJI jeng NGEJO Kudu Saimbang" (Mengaji dan menanak nasi harus seimbang) 

Ngaji identik dengan pemenuhan kebutuhan ruhani yang berorientasi  urusan ukhrowi dan Ngejo identik dengan pemenuhan kebutuhan fisik yang berorientasi pada urusan duniawi, artinya bagi setiap insan yang beragama dan berakal, hendaklah bijak dalam mengisi hidup dan berkehidupan dengan menjaga  keseimbangan antara urusan jasmani dan ruhani, antara dunia dan akhirat,  jangan sampai suplai kehidupan ini hanya diprioritaskan dalam memenuhi kebutuhan sandang pangan papan saja tanpa memikirkan kebutuhan kehidupan abadi. 

Dalam  potongan QS. Al Qoshash : 77 Allah mengingatkan kita dengan pernyataan :

وابتغ فيما اتاك الله الدار الاخرة ولا تنسى نصيبك من الدنيا

Wabtaghi fiimaaa aataakal laahud Daaral Aakhirata wa laa tansa nasiibaka minad dunyaa.... 

"Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi jangan lupa bagianmu di dunia.... "

Ayat ini  memberikan pesan agar berusaha meraih karunia Allah dalam urusan akhirat, namun juga mengingatkan untuk tidak melupakan raihannya dalam mencapai karunia dunia. Artinya penting bagi seorang muslim untuk menjaga keseimbangan hidup. 

"Ngejo Maraban AWAK" (Menanak nasi untuk keperluan fisik) artinya  Makanan yang dikonsumsi manusia hanya sebagai nutrisi bagi pertumbuhan dan perkembangan fisik saja. Baik buruknya fisik seseorang tergantung kemampuan dalam menjaga pola asupan  makanannya. Makanya berhati-hatilah dengan tetap menjaga prinsip "halalan thoyyiban" dalam mencari dan mengkonsumsi bahan-bahan yang dijadikan sebagai nutrisi fisik agar dampaknya dapat menjadikan jasmani yang bersih dan kuat. 

"Ngaji Maraban AKHLAK" (Mengaji untuk kebutuhan Akhlak) mengandung arti mengaji atau upaya menuntut ilmu agama dengan serius akan menghantarkan seseorang berwawasan luas dan akan mencapai moralitas tinggi sebagai insan yang beradab. Sebab pada prinsipnya Akhlak akan terbentuk dari pemahaman yang berkualitas, dan pemahaman tersebut bisa muncul dari proses ngaji yang dilakukan secara kontinyu. 

Keberhasilan menuntut ilmu tidaklah mungkin hanya ilmu untuk ilmu tetapi bagaimana ilmu tersebut dapat membangun kesantunan dalam berinteraksi sosial (akhlak). Hal ini tentunya senada dengan pernyataan baginda Rosulullah Saw yang diriwayatkan oleh Imam Attirmidzi

اكمل المؤمنين ايمانا احسنهم خلقا

Akmalul Mu'minina Iimaanan Ahsanuhum Khuluqa

"Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya (HR. At-Tirmidzi, Riyadhu Asshalihin : 278) 

"Ngejo Teu Ngaji SASAR" (Makan tanpa mengaji berdampak Sesat) 

Fokus pada nutrisi fisik dengan mengkesampingkan nutrisi ruhani (agama) akan mengakibatkan manusia berjalan tanpa arah/tujuan yang jelas. Akhirnya tersesat dan sulit untuk kembali lagi, andaipun mampu kembali tentunya butuh proses yang cukup rumit. 

"Ngaji Teu Ngejo LAPAR" (Mengaji tanpa makan akan terasa LAPAR) 

Sebaliknya ruhani yang terus digembleng tanpa dibarengi dengan perhatian  serius dalam pertumbuhan fisik, juga akan menimbulkan jasmani lemah, lesu, kurang tenaga dan hilang gairah sertakan semangat dalam beraktivitas. 

"Teu Ngaji Teu Ngejo MODAR" (Tidak mau mengaji, tidak mau makan maka tamatlah riwayatnya) 

Puncaknya jika kedua unsur ini (jasmani dan ruhani) terabaikan haknya, maka tunggulah kehancuran dalam kehidupannya karena hilangnya keseimbangan antara keduanya. 

Dikutip dari buku "Dinamika kehidupan Religius " karya Muhammad Tholchah Hasan, nilai tambah manusia dalam kehidupan sesungguhnya tidak ditentukan oleh unsur fisiknya, tetapi oleh unsur metafisiknya yang berupa ruh atau jiwa dan kualitas-kualitas internal lainnya. Karena fisik manusia nilainya tidak terlalu mahal. Dalam perspektif ini benar apa yang dikatakan oleh Prof. Muhammad al-Ghazali, salah seorang cendekiawan dan ulama' Mesir. Dia menulis sebuah buku berjudul "Nadharât al-Qur'ân" (Pandangan-pandangan di dalam al-Qur'an). Menurut dia, sekiranya dihitung atau diuraikan unsur-unsur apa yang terdapat dalam tubuh manusia, maka sebetulnya tubuh manusia sangat murah dan tidak ada nilainya. Dalam setiap raga manusia, katanya, kira- kira ada satu unsur lemak yang kalau dikumpulkan hanya cukup untuk membuat tujuh potong sabun kecil-kecil. Kemudian ada unsur karbon yang kalau dikumpulkan (dijadikan satu) kira-kira cukup untuk membuat beberapa potong isi pensil. Ada lagi unsur posfor (besi) yang kira-kira paling banyak bisa dipakai untuk membuat 120 batang korek api. Di samping itu, ada unsur salt, garam magnesium yang cukup untuk minum obat sakit perut sekali. Selain itu, unsur zar besi yang kira-kira bisa dipakai untuk membikin satu potong pasak ukuran sedang; unsur kapur yang hanya bisa dipakai untuk mengapur tembok berukuran kira-kira 1 X 1 meter. Ada lagi unsur belerang yang kira-kir bisa dipakai untuk menyiram dan membersihkan kutu seekor anjing. Yang terbanyak adalah unsur air kira-kira 10 galon.  Menurutnya, jika seluruh unsur atau bahan-bahan kimiawi yang dikandung tubuh manusia (sempurna) itu dijual atau dibeli dari sebuah toko niscaya tidak akan mengeluarkan banyak uang. Apalagi suatu saat ditakdirkan mengalami kelainan  misalnya gila (tidak sempurna), maka jelas tubuh itu akan mengalami penurunan harga. Itu baru dari segi otaknya yang mengalami kelainan, semua nilai organ tubuh menjadi turun.

Lalu apa yang menjadikan manusia mahal dan dihargai tinggi? Mengapa seseorang dihargai lebih tinggi dibandingkan dengan orang lain padahal tubuhnya sama, warna kulit dan rambutnya sama, kelengkapan tubuhnya sama, mungkin pakaiannya juga sama. Ada dua orang berjalan bersama, yang satu pejabat dan seorang lagi ulama' besar, tetapi mengapa penghormatan orang terhadap ulama' lebih besar daripada pejabat. Di sini ada nilai tambah yang bukan bersifat fisik, melainkan non-fisik (metafisik).

Menyadari kenyataan ini, Islam melarang umatnya hanya memikirkan hal-hal yang bersifat fisik. Dalam istilah al- Qur'an, orang yang hanya mengikuti kemauan fisiknya disebut ya'kulu wa tamatta' (hanya urusan perut dan bersenang- senang). Sebaliknya, Islam mengajak kepada umatnya agar memperhatikan unsur yang mendukung hidup terutama menyangkut unsur metafisik, seperti ilmu, agama, dan moral. Pilihan terhadap model dan cara hidup seseorang bisa dilihat sejauhmana orang tersebut memberikan perhatian dan apresiasi terhadap unsur-unsur penunjang kehidupan. Orang yang mengapresiasi unsur-unsur fisik maka yang dikejar dalam hidupnya adalah hal-hal yang dapat memuaskan unsur-unsur tubuhnya. Sebaliknya, orang yang mengapresiasi unsur metafisik tampak pada cara hidupnya yang mengutamakan kepuasan spiritual, penghormatan terhadap nilai  menjunjung tinggi moralitas.  

Demikian ulasan singkat ini, semoga kita mampu menjadi manusia yang dapat mengisi kehidupan ini dengan bijak sesuai tuntunan syariat. Aamiin. 


 Penulis : Dede Hermawan

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to ""NGEJO TEU NGAJI SASAR, NGAJI TEU NGEJO LAPAR""

Posting Komentar